+
+
+
10 Tahun menambal jalan berlobang agar tak membahayakan para pengguna jalan, Abdul Sukur, warga Jalan Tambak Segaran Barat, Gg I/27, Surabaya, Jawa Timur tak pernah sekalipun berharap imbalan. Apa yang dilakukannya kakek 65 tahun itu tiap malam, murni atas dasar kemanusiaan.
Assalamu’alaikum, kalimat pertama yang diucapkan bapak enam anak itu ramah menyambut kedatangan merdeka.com, sambil berjabat tangan di lokasi pangkalan becaknya depan Mal ITC Jalan Gembong, Surabaya, Rabu sore (13/5).
Kakek tua yang akrab disapa Pak Dul itu, kemudian dengan lugu menceritakan kisahnya, menambal jalan berlubang di Kota Pahlawan ini. Tiap malam hingga dini hari, usai mengais rizki dari mengayuh becak, dia mencari jalan yang rusak.
Kemudian, kakek tujuh cucu itu, mencari bongkahan-bongkahan aspal bekas atau batu krikil di daerah Pasar Atom dan di Jalan Tambak Adi. Dengan berbekal hamer atau palu berukuran sedang, dia memecah bongkahan aspal yang sudah tidak terpakai.
Bongkahan-bongkahan aspal bekas perbaikan parit atau selokan itu, lalu diangkutnya menggunakan becak reot miliknya. Sekali angkut, becaknya mampu menampung 3 kuintal aspal bekas. Lalu digunakan menambal jalan yang berlubang. Untuk meratakannya, Pak Dul menempanya dengan palu miliknya.
“Sudah 10 tahunan saya nambal jalan berlobang. Kasihan kalau lubangnya tidak ditambal, banyak orang jatuh kalau melintas. Apalagi lobangnya dalam-dalam dan tidak segera diperbaiki pemerintah,” katanya dengan Bahas Jawa, kromo inggil.
Saat ini, beberapa ruas jalan di Kota Pahlawan yang sudah ditambalnya dari bongkahan aspal atau batu krikil, di antaranya Jalan Gembong, Tambak Rejo, Semut, Bunguran dan beberapa ruas jalan lainnya.
“Niat saya ibadah, tidak mengharap apa-apa, saya Lillahita’ala. Saya akan tetap melakukannya sampai kapan-pun selama masih ada jalan yang berlobang dan membahayakan orang. Pagi sampai jam 10 malam (pukul 22.00 WIB) saya cari makan (nafkah), setelah itu cari gragal (batu krikil) untuk nutup jalan yang lobang. Jam 2 (pukul 02.00) saya pulang,” akunya.
Pak Dul yang akrab disapa Pak Wek atau Mbah Wek (pak tua) oleh rekan-rekan seprofesinya ini, juga tak jarang membantu orang lain selama dia bisa. “Saya niat ibadah, saya bisanya cuma nolong dengan tenaga saya. Diminta bantu dorong mobil mogok ya saya lakukan. Setelah itu dikasih (uang) Alhamdulillah, tidak ya Alhamdulillah. Yang penting saya tidak minta-minta,” paparnya.
Dari hasil mengayuh becak, Pak Dul pulang hanya membawa uang Rp 30 ribu, kadang kalau ramai penumpang bisa dapat Rp 40 ribu sama 50 ribu rupiah, dia tidak pernah meratapi nasibnya. “Rezeki sudah ada yang mengatur,” ucap kakek yang sudah ditinggal mati istrinya sejak 1,5 tahun lalu itu yakin.
Sebelumnya, Himan Utomo mengunggah kisah tukang becak bertingkah aneh di akun facebooknya, Selasa (12/5). Saat itu, Himan sedang menunggu istrinya yang bekerja di ITC. Hilman lantas menawarkan rokok untuk membuka percakapan. “Bapak dari Dinas Kota kah kok meratakan jalan dan cuma memakai becak? Bukankah Dinas Kota punya fasilitas.”
Pak Dul mengaku jika dirinya merupakan tukang becak biasa. Tak puas dengan jawab itu, Himan menyorongkan pertanyaan lagi, siapa yang mempekerjakan dan berapa diberi gaji. “Saya enggak kerja sama siapa-siapa dan tidak digaji siapa-siapa,” jawab Pak Dul.
Mendengar jawaban itu, rasa penasaran Himan bertambah besar. Kenapa orang seumuran Pak Dul mau bekerja tanpa ada imbalan sepeser pun. Padahal pekerjaan itu sudah tanggung jawab Pemerintah Kota Surabaya.
“Enggak apa-apa mas, ini sudah jadi hobi saya tiap malam. Setelah cari rezeki dengan menjadi tukang becak, malamnya saya selalu mencari bongkahan batu aspal, buat nutup jalan yang berlobang, ya hitung-hitung abdi saya sebagai warga kota Surabaya,” terang Pak Dul dengan tersenyum.
+
+
http://www.merdeka.com/peristiwa/10-tahun-nambal-jalan-berlobang-mbah-dul-ngaku-hanya-niat-ibadah.html