Kundur News. Permasalahan yang dialami oleh etnis Rohingya yang beragama Islam bukanlah yang baru, karena akar konflik Rohingya tersebut telah terjadi sekitar tahun 2012. Konflik ini kembali mencuat di berbagai media masa ketika umat muslim di dunia merayakan Idul Adha 1438 H. Kasus konflik yang belum menemukan solusinya ini mengakibatkan banyak interpretatif yang muncul dalam memahami konflik antara elite politik dan birokrasi Myanmar dengan kaum minoritas muslim rohingya. Kajian ini mencoba untuk memahami tipe dan persoalan konflik yang terjadi di Myanmar. Sehingga kompleksitas permasalahan dalam konteks ini tidak melukai makna toleransi beragama dan hak asasi manusia (HAM) yang selalu dipromosikan oleh dunia, dengan tidak menyebutnya sebagai “sandiwara” internasional semata.
Berdasarkan studi resolusi konflik, terdapat anggapan bahwa konflik akan terjadi ketika kepentingan antar kelompok manusia saling berbenturan dan tidak terkendali. Benar bahwa banyak faktor yang menyebabkan munculnya suatu konflik, di antaranya adalah faktor keagamaan, politik, ekonomi dan bencana alam. Relevansinya dengan tragedi kemanusiaan yang terjadi di Myanmar dalam satu bulan terakhir ini telah menewaskan 104 orang dan warga Rohingya mengungsi ke perbatasan Bangladesh sebanyak 3.000 pengungsi (Kompas, 29/8/2017).
Tidak hanya itu, rumah-rumah warga Rohingya pun ikut rusak dan terbakar dengan jumlah yang tidak sedikit yang diakibatkan oleh konflik antara militer Myanmar dengan kelompok pejuang Rohingya yang menamakannya dengan sebutan Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA).
Harus diakui, bagian konflik yang dijelaskan di atas merupakan bagian terkecil dari keseluruhan tentang konflik Myanmar. Terdapat anggapan bahwa konflik Myanmar-Rohingya bukan merupakan konflik keagamaan atau militer. Terlepas dari itu, yang jelas nilai intimidasi dan intervensi politik negara Myanmartelah mengakibatkan diskriminasi terhadap kaum minoritas muslim Rohingya, dengan bukti konkret melalui tindakan pembunuhan, pengusiran hingga tidak mengakui status warga Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Sungguh peristiwa ini tidak dapat diterima oleh nalar sehat manusia, yang semestinya negara merupakan media rakyat untuk menjaga perdamaian dalam perbedaan.
Kegaduhan informasi
Banyaknya motif konflik yang ditampilkan dalam kasus ini, secara tidak langsung telah menciptakan kegaduhan informasi tentang Rohingya di Rakhine (Myanmar). Hal ini menjadi lahan empuk tempat tumbuhnya media hoax yang ikut mewarnai publikasi konflik tersebut. Hal ini dapat dipahami melalui adanya foto-foto korban yang keliru dijadikan sebagai titik fokus pembicaraan, sehingga konflik ini bersifat tendensius terhadap warga negara di Asia seperti Indonesia dan Malaysia.Ke_Halaman_Selanjutnya