Tampaknya, kepedulian terhadap konflik Rohingya di tingkat Internasional bukan karena isu politik, ekonomi, agama atau militer. Tetapi kepedulian tersebut terjadi ketika publik tersentuh dengan nilai kemanusiaan universal yang tidak diterapkan terhadap warga Rohingya. Dari sisi lain, tidak heran kaum muslim juga ikut emosi ketika melihat tindakan diskriminasi yang dihadapi oleh etnis Rohingya yang beragama Islam. Intinya, rasa simpati dan empati publik terhadap etnis Rohingya muncul sejatinya menginginkan keadilan hukum untuk etnis Rohingya.
Namun demikian, rasa simpati dan empati publik saat ini belum membuahkan wujud keadilan hukum dan perdamaian untuk warga Rohingya. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya lembaga Intersional yang berwewenang untuk menyelesaikan kasus ini secara serius. Jangankan lembaga Internasional, Indonesia sebagai warga negaranya mayoritas muslim hanya mampu melawan secara argumentasi melalui kesepakatn forum dan tulisan-tulisan belaka. Namun hal ini jauh lebih baik dari pada tidak ada respon sama sekali.
Penting untuk memetakan permasalahan konflik yang terjadi pada etnis Rohingya dengan memahami tiga faktor pemicu konflik: Pertama, faktor budaya. Pengaruh budaya suatu negara sangat menentukan karakter dan ideologi bangsanya. Dalam konteks budaya Myanmar, ada anggapan bahwa mereka sangat menjujung tinggi budaya Burmanization (baca; Mohd. Faizal).
Burmanization ini menganut pola satu bahasa dan satu bangsa, layaknya pola budaya yang berkembang di Indonesia. Namun penerapan budaya Myanmar dewasa ini terkesan bersifat fundamental dan anarkis. Artinya, Myanmar tidak mengiginkan adanya budaya lain selain budaya mereka, sehingga Myanmartidak mengakui bahwa etnis Rohingya sebagai warga negara mereka.
Sisi lainnya, terdapat asumsi bahwa budaya Rohingya dipengaruhi oleh ajaran Islam yang dianggap akan berbenturan dengan budaya Myanmar. Implikasi budaya Myanmar secara tidak langsung menciptakan ideologi yang diwarnai oleh Burmanization. Ideologi ini kemudian berubah menjadi suatu praktik diskriminasi terhadap etnis muslim Rohingya. Kemungkinnya, bagi Myanmar dalam mendiskriminasi warga Rohingya merupakan sebuah perilaku yang tidak keliru dan sesuai dengan nilai-nilai budaya mereka. Sehingga tidak peduli dengan saran dan kebijakan politik luar negeri untuk menghentikan tindakan anarkis mereka.
Kedua, faktor ekonomi politik. Wilayah Rakhine merupakan bagian dari negara Myanmar yang memiliki sumber daya alam (SDA) potensial yang dihuni oleh sekitar satu juta warga muslim Rohingya (baca; Siegfried O. Wolf). Sisi lainnya, mayoritas warga yang tinggal di Rakhine masih banyak berstatus pekerja lepas dan miskin. Kondisi ini membuat warga Myanmar yang dipengaruhi budaya Burmanization merasa tersaingi dengan para pekerja dari kalangan muslim Rohingya. Hal ini dapat dijadikan sebagai asumsi dasar dalam menentukan faktor pemicu konflik Rohingya.
Ketiga, faktor agama. Secara pendekatan kebijakan politik bahwa ajaran Budha pada titik tertentu sangat jauh berbeda dengan ajaran Islam. Berkaitan dengan muslim Rohingya, ketika adanya warga muslim, tentu adanya dakwah dan syiar yang secara sosial politik akan berbenturan dengan ajaran Budha di Myanmar. Ketika hal ini terjadi, suatu hal yang logis ketika kedua pejuang kelompok tersebut saling melawan dengan mengatasnamakan ajaran masing-masing agama mereka. Dari pihak Myanmar mengatasnamakan ajaran Budha dan nasionalismenya, sementara dari pihak muslim Rohingya mengatasnamakan jihad fisabilillah (berjuang di jalan Allah).Ke_Halaman_Selanjutnya