Resolusi konflik

Berdasarkan tiga faktor pemicu konflik di atas, dapat ditarik kesimpulan awal bahwa untuk mengatasi konflik Rohingya membutuhkan pendekatan budaya, ekonomi, politik dan agama. Sejatinya tidak ada konflik yang tidak dapat diselesaikan. Selesai tidaknya suatu konflik sangat tergantung dari pendekatan strategi resolusi konflik yang diciptakan. Argumentasi ini tidaklah bersifat spekulasi dan retorika, tetapi konsepsi ini telah membuktikan wujud perdamaian seperti peristiwa perdamaian Bangladesh, Timor Leste, Ambon, Poso dan Aceh. Dengan demikian mengapa tidak konsepsi ini diterapkan untuk negara Myanmar.

Memahami konflik Rohingya bukanlah persoalan yang sederhana, karena dalam kasus ini tercium aroma peran oknum elite politik internasional yang tidak peduli terhadap HAM bagi kalangan Islam. Tanpa menuduh secara ambisius dan emosional, ketika kasus penyerangan World Trade Center (WTC) pada 2001. Pascaperistiwa itu, berbagai tindakan hukum dapat menciptakan solusi yang efektif terhadap para korban WTC tersebut dan simpati warga dunia berhamburan mengecam para pelakunya. Namun hal ini tidak berlaku untuk warga Rohingya, padahal kadua kasus ini sama-sama menelan banyak nyawa manusia.

Belum adanya solusi konkret dalam penyelesaian konflik Rohingya, tidak salahnya jika mengatakan bahwa konspirasi politik umat muslim dunia telah tidak berdaya, dengan tidak menyebutnya telah tiada. Bahkan kekuatan politik umat muslim dewasa ini tidak berbanding lurus dengan jumlah kuantitas para jamaah haji 2017. Alasannya, begitu banyak kasus-kasus diskriminasi kemanusiaan yang dialami umat muslim dewasa ini, namun belum ada satu kebijakan politik umat muslim pun yang mampu menyelesaikannya. Dan kita dapat memahami fakta ini melalui kasus Palestina dan Rohingya.

Tanggung jawab penyelesaian konflik Myanmar tidak hanya pada negara Myanmar atau negera-negara ASEAN saja, melainkan ini adalah tanggung jawab bersama. Persoalan ini erat kaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan, serta kedaulatan negara. Tentunya hal ini butuh proses dan langkah hukum internasional yang bijak, sehingga kedaulatan negara Myanmartetap terjaga dan keadilan muslim Rohingya tetap terjamin. Seperti kata bijak Aceh mengatakan, uleu beu matee, ranteeng beek patah maksudya adalah ketika menerapkan strategi penyelesaian suatu konflik harus berlandaskan nilai kebijakan dan profesionalitas. Semoga!

 

By: Zulfata, M.Ag., alumnus pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, dan peminat kajian agama dan politik internasional.

1
2
3
Previous article2 PNS di Karimun Positif Narkoba
Next articleCabjari Gelar Baksos Pengobatan Gratis