Majelis hakim pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutuskan menolak permohonan banding diajukan oleh terdakwa kasus suap sengketa pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi serta pencucian uang, Muhammad Akil Mochtar, serta Komisi Pemberantasan Korupsi. Atas keputusan itu, Komisi merasa lega dengan sikap Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
“Kami menghormati proses hukum, dan mengapresiasi putusan banding,” tulis Juru Bicara KPK, Johan Budi, melalui pesan singkat, Selasa (25/11).
Johan menyatakan, keputusan penolakan banding Akil sepenuhnya ada di tangan hakim. KPK, lanjut Johan, hanya menyodorkan berkas kontra memori banding sebagai bahan buat majelis hakim mengambil keputusan. Dia memuji keputusan itu dan berharap hal itu bisa menumbuhkan efek jera kepada para pelaku dan yang hendak mencoba-coba.
“Itu kewenangan hakim. KPK berharap putusan hakim itu yang bisa menimbulkan efek jera,” sambung Johan.
Pada 30 Juni lalu, majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, menjatuhkan putusan penjara seumur hidup kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Muhammad Akil Mochtar. Bekas politikus Partai Golkar itu terbukti menerima suap dalam sepuluh sengketa pemilihan kepala daerah di MK dan pencucian uang.
Akil juga diganjar pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Ketua Majelis Hakim Suwidya menyatakan hukuman itu sebagai bentuk pembelajaran karena banyak terpidana kasus korupsi masih menang dalam pemilihan kepala daerah. Sementara pidana denda nihil lantaran tidak mungkin digantikan.
Pertimbangan memberatkan Akil adalah tidak mendukung upaya pemerintah dalam usaha pemberantasan korupsi, menjabat ketua lembaga tinggi negara yang merupakan benteng terakhir masyarakat untuk mencari keadilan, runtuhnya wibawa lembaga peradilan khususnya Mahkamah Konstitusi, dan sulit mengembalikan kewibawaan MK. Sementara hal meringankan nihil.
Hakim Suwidya menyatakan sepakat dengan tuntutan jaksa dengan alasan perbuatan Akil berdampak luas terhadap masyarakat. Beberapa perbuatan pidana Akil terbukti menurut hakim yakni suap, gratifikasi, dan pemerasan. Antara lain dalam sengketa pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp 3 miliar), pilkada Lebak (Rp 1 miliar), Pilkada Kabupaten Empat Lawang (Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS), Pilkada Kota Palembang (Rp 19.886.092.800),
Akil juga terbukti menerima uang terkait sengketa Pilkada Kabupaten Buton (Rp 1 miliar), Kabupaten Pulau Morotai (Rp 2.989.000.000), dan Kabupaten Tapanuli Tengah (Rp 1,8 miliar).
Akil turut terbukti menerima janji atau pemberian sebesar Rp 10 miliar terkait keberatan hasil Pilkada Provinsi jawa Timur. Kemudian, pada dakwaan ketiga, Akil juga terbukti meminta Rp 125 juta pada Wakil Gubernur Papua periode tahun 2006-2011 Alex Hesegem. Pemberian uang itu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kota Jayapura, dan Kabupaten Nduga.
Akil juga terbukti menerima uang dari adik Gubernur Banten Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, sebesar Rp 7,5 miliar. Pemberian uang itu terkait dengan sengketa Pilkada Banten.
Akil dikenakan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Kemudian dakwaan alternatif ketiga dan dakwaan keempat dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto 64 ayat 1 KUHPidana. Kemudian dua dakwaan tentang pencucian uang serta dalam Pasal 3 UU nomor 8 tahun 2010 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto pasal 65 ayat (1) KUH Pidana.
Akil juga terbukti melakukan pencucian uang sebesar lebih dari Rp 181 miliar. Akil mengumpulkan harta haram itu pada kurun waktu 17 April 2002 hingga 21 Oktober 2010.*
(merdeka com)