+
+
Menkum HAM Yasonna Laoly mencabut SK Golkar kepengurusan Agung Laksono hasil munas Ancol. Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan gugatan yang dilakukan oleh Aburizal Bakrie (Ical). Namun, Menkum HAM hingga kini belum menerbitkan SK yang mengakui kepengurusan munas Bali.
Per bulan Januari ini, kepengurusan Golkar tercatat vakum karena masa kepengurusan hasil Munas Riau 2009 telah berakhir. Kubu Ical menegaskan, mereka merupakan pengurus yang sah berdasarkan putusan MA, sementara kubu Agung ngotot tidak ada pengurus.
Konflik pun kembali muncul, dan menjadi pertanyaan, apa motif Menteri Yasonna menggantung nasib Golkar.
Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti menilai Menkum HAM Yasonna Laoly sudah tidak punya wewenang lagi terhadap nasib Partai Golkar. Yang lebih berhak menentukan arah ke depan partai lambang beringin adalah internal partai itu sendiri, dengan cara melakukan musyawarah nasional.
“Ya Menkum HAM sudah tidak ada lah urusan lagi dengan Partai Golkar. Ini semata-mata persoalan Golkar. Sekarang ini yang harus dilakukan internal Golkar harus segera adakan Munas, biar enggak ada kekosongan kepemimpinan,” kata Ray saat dihubungi merdeka.com, Sabtu (2/1).
Disinggung apakah ada kepentingan Menkum HAM terhadap keputusan dicabutnya SK Golkar kepengurusan Agung Laksono yang terkesan lambat, Ray menduga hal tersebut demi keikutsertaan Golkar dalam Pilkada serentak agar terkesan solid, sehingga para kadernya bisa ikut bertarung di Pemilihan kepala Daerah 9 Desember 2015.
“Bisa jadi lambatnya dicabutnya SK Golkar kepengurusan Agung Laksono demi ikut serta kader Golkar maju di Pilkada serentak. Biar terkesan solid,” bebernya.
Lanjut Ray, dengan dicabutnya SK Golkar kepengurusan Agung Laksono justru menjadi peluang untuk Golkar mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) bagi dua kubu yang berseteru agar sama-sama bersatu sehingga tidak ada kekosongan kepemimpinan dan kepengurusan.
“Ini menjadi pintu (peluang) bersatu bagi kedua kubu (Agung dan Ical) untuk bersama-sama mengadakan Munas. Sehingga nantinya ada pengakuan dari negara dan disahkan kembali oleh Menkum HAM. Kalau sama-sama keras, ya hancur,” tegasnya.
Jadi, masih kata Ray, kalau dua kubu ini masih tetap berseteru dalam kepengurusan di tubuh Golkar maka dampaknya pada kerugian dan kekacauan administrasi partai, dana bantuan negara untuk partai, dan terkendalanya pengesahan kader Golkar yang menjabat sebagai anggota maupun pimpinan DPR.
“Kalau dua kubu itu nggak bisa kompromi, akibat administrasi tidak bisa dilayani, contohnya, pergantian Wakil Ketua DPR dari Golkar tidak bisa, karena harus ada tanda tangan pimpinan partai yang sah. Negara juga bingung siapa yang nerima duit dari negara untuk partai, karena kepengurusan partai dapat jatah uang. Hanya Munas yang bisa menyelamatkan kerugian partai Golkar,” papar Ray.
Perbedaan pandangan sistem kepemimpinan dua kubu tersebut, menurut Ray menjadi batu sandungan terbentuknya kepanitiaan Munas yang baru, jangan sampai masuk ke ranah gugatan hukum lagi yang tidak berujung.
“Agung Laksono inginnya segera Munas, tapi Ical maunya kepengurusan dia diperpanjang, kan masa berlakunya sudah habis, seharusnya mereka berdua bentuk kepanitiaan Munas sama-sama agar ada kepengurusan yang baru. Saya melihatnya di kemenkum HAM ini semata-mata persoalan internal Golkar. Pertanyaannya apakah Golkar kubu Agung dan kubu Ical mau bersatu melalui rapimnas, kalau tidak, ya mereka yang rugi sendiri,” pungkasnya.
+
Sumber : Merdeka.com