Tanjungbatu – Divisi Hukum Pencegahan Parmas dan Humas Panwaslu Kecamatan Kundur, Hardi Yuni Zakri, mengatakan, setiap warga negara yang mempunyai hak pilih yang melapor hal kecurangan Pemilu, keamanan dan keselamatnnya dijamin oleh Undang-Undang, sebagaimana PASAL 28G Ayat (1) UUD 1945. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Hal itu disampaikannya pada Sosialisasi Pengawasan Pemilihan Secara Tatap Muka Panwaslu Kecamatan Kundur, di Pondok Pertemuan Agora, Sengko, Jl Dwi Sartika Tanjungbatu, Jumat, (27/09/24).
“Jadi, jangan takut, jika ditemukan pelanggaran-pelangaran atau kecurangan dalam pelaksanaan Pilkada silakan lapor. Kalau takut lapor secara resmi silakan adukan ke kami, bisa pakai telpon gelap juga tak mengapa, kami akan turun ke lokasi. Karena pelapor akan dilindungi Undang-undang. Karena tanpa peranserta masyarakat, kami dengan jumlah yang sangat terbatas ini tidak akan terjangkau. Tapi jangan pula melapor saat Pilkada telah usai,” ujar Hardi.
Pemateri itu juga memaparkan procedural pelapor kecurangan pada pelaksanaan Pemilu, mulai dari pengisian lembaran From Model A.1 dengan mengumpulkan alat-alat bukti, kemudian ke kantor Pengawasan Pemilihan, mulai dari Kecamatan hingga Provinsi dan seterusnya.
Divisi Hukum Panwaslu ini juga menerangkan peran RT/RW, ASN, dan Kepala Desa dalam netralitas dalam Pilkada.
“Kenapa RT/RW dilarang dalam berkampanye, dari hasil penelitian dari mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, RT/RW merupakan bagian dari lembaga negara, jadi harus netral. Menjaga netralitas dan independensi dari RT dan RW. RT dan RW akan mengurus administrasi seluruh masyarakat dilingkungan RTnya, Ketika RT atau RW berpihak, akan perpotensi keberpihakan sehingga muncul berbagai kendala di masyarakat. Jadi, kesimpulannya, RT RW boleh ikut berkampanye asal adil dan tidak menjadi fasilitator,”ujarnya.
Lebih lanjut Hardi menegaskan, ASN dilarang ikut berkampanye, seperti yang diatur pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomo 1 Tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014.
“Ini tegas, sesuai Pasa 70, ayat 1, dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan a. Pejabat badan usaha milik negara / milik daerah. b. Aparatur Sipil Negara (ASN), Anggota Kepolisian Republik Indonesia, dan Tentara Nasional Indonesia. c. Kepala desa atau sebutan lain / lurah dan perangkat desa atau sebutan lain / perangkat kelurahan,” kata Hardi.
Potensi pelanggaran juga disampaikan Hardi, terkait money politic, black campaign, politisi sara atau ujaran kebencian dan politik identitas.
Pesan terakhir yang disampaikan nara sumber ini, kehadiran Panwaslu bukan mencari salah atau benar dalam pemilu.
“Jadi kehadiran kami bukan mencari kesalah atau mencari kebenaran, fungsi kami adalah sebagai pelurus jalan,” tukas Hardi.(*)