Aliansi masyarakat sipil bernama Sahabat untuk Informasi dan Komunikasi yang Adil (SIKA), menuntut pemerintah merevisi Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hal ini karena peraturan perundang-undangan itu dinilai berisi pasal karet yang memberangus kebebasan berpendapat di dunia maya.
“Pidana kesusilaan, penghinaan, dan pencemaran nama baik, ancaman kekerasan, dan penyebaran kebencian berlatar SARA, harus dikembalikan ke KUHP,” kata salah satu anggota Mujtaba Hamdi dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (31/1).
Peneliti Media Link ini mengatakan, UU ITE kerap digunakan membungkam kritik masyarakat terhadap pemerintah. Dirinya mencontohkan, delik pencemaran nama baik digunakan oleh penguasa mengkriminalkan masyarakat yang mengunggah kritiknya di media sosial.
Lanjut Mujtaba, ketentuan-ketentuan dalam UU ITE seperti Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 harus dihapus demi mengembalikan kebebasan berpendapat di ranah dunia maya. Pemerintah seharusnya membuat Undang Undang yang mengatur persoalan sibernetika bukan membatasi kritik masyarakat.
“UU ITE seharusnya mengatur pidana yang berkaitan dengan kejahatan sibernetika, bukan malah mengurusi masalah pidana konvensional,” pungkasnya.
Diketahui, UU ITE yang terbit pada 25 Maret 2008 ini dinilai memiliki sejumlah pasal karet. Salah satu pasal yang dianggap kontroversial adalah Pasal 27 ayat 1 dan 3, Pasal 28 ayat 2, dan Pasal 31 ayat 3. Pasal itu membahas penghinaan dan pencemaran nama baik melalui media massa. Pasal ini kerap dipakai menuntut pidana pengguna media sosial yang melayangkan kritik lewat dunia maya.
[facebook]
http://www.merdeka.com/peristiwa/berisi-sejumlah-pasal-karet-uu-ite-didesak-segera-direvisi.html