Kasus korupsi besar di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) perlahan mulai terbongkar. Salah satunya adalah kasus dugaan korupsi penjualan kondensat pada 2009 lalu yang merugikan negara mencapai Rp 2 triliun.
Kemudian ada juga kasus yang menimpa mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini pada 2013 lalu atas. Rudi diduga menerima suap sebesar Rp 7 miliar yang dilakukan PT Kernel Oil. Modus menggerogoti uang negara di SKK Migas terbilang masih menggunakan cara lama, yaitu dengan melakukan penjualan minyak mentah milik negara.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa membeberkan celah korupsi di SKK Migas. Hal ini bermula dari sistem di SKK Migas yang menggunakan skema Production Sharing Contract (PSC) atau bagi hasil. Dari skema ini, pemerintah mendapatkan porsi mayoritas, sedangkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) mendapatkan porsi minoritas.
Dengan skema ini, hasil produksi lapangan Indonesia seharusnya masuk ke negara karena pemerintah melalui SKK Migas menjual bagian negara tersebut untuk meraup keuntungan dan penerimaan negara.
“Dari aturan penjualan tersebut sebenarnya harus melalui tender atau lelang. Tetapi, SKK Migas bisa menunjuk langsung penjual minyak bagian negara tersebut. Celah-celahnya itu bisa dari penetapan harga kondensat dari SKK Migas,” ujar Fabby kepada merdeka.com di jakarta, Rabu (6/5).
Menurut dia, celah korupsi tersebut dapat dihindari apabila tender atau lelang tersebut dapat dialihkan ke pemerintah dengan penentuan harga yang tetap. Pasalnya, dalam tubuh SKK Migas pun banyak kepentingan sehingga wajar apabila lembaga tersebut dijadikan lahan basah peredaran uang ‘panas’.
“Jadi bukan lagi BP Migas atau SKK Migas yang melakukan tender atau melakukan penunjukan langsung,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesian Resource Studies Marwan Batubara mengatakan seharusnya SKK Migas menunjuk PT Pertamina (Persero) dalam menjual minyak mentah bagian negaranya. Selain itu, Undang-undang Minyak dan Gas Bumi juga harus direvisi total dengan memasukkan Pertamina sebagai penjual minyak mentah bagian negara bukan lagi SKK Migas.
“Karena Pertamina itu perusahaan negara dan 100 persen milik pemerintah sehingga SKK Migas tidak perlu tunjuk perusahaan lain untuk membeli minyak mentah tersebut,” kata Marwan.
Dia pun menegaskan kasus korupsi yang terjadi di tubuh SKK Migas juga banyak kepentingan politik para penguasa. Bahkan, SKK Migas selalu menjadi alat kepentingan partai penguasa dalam meraup keuntungan. Dengan begitu, korupsi yang terjadi di SKK Migas bakal mendarah daging.
“Banyak kepentingan di sana apalagi kepentingan politik untuk meraup keuntungan pribadi,” pungkas Marwan.
www.merdeka.com