Koalisi Anti Mafia Tambang yang terdiri dari sekitar 50 organisasi masyarakat sipil mengungkap karut marut pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Indonesia. Temuan tersebut berawal dari KPK yang melaksanakan koordinasi dan supervisi di bidang Mineral dan Batubara (Minerba) di 12 provinsi.
Pemilihan 12 provinsi yakni berdasarkan potensi hasil tambang yang ada di daerah itu, diantaranya Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Jambi, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara serta Kalimantan Barat.
Anggota AURIGA, Syahrul menuturkan KPK sempat kesulitan lantaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak mempunyai data lengkap IUP yang telah dikeluarkan.
“Masalah awal ditemukan ketika KPK meminta semua IUP di Kementerian ESDM. Ternyata mereka tidak punya lengkap,” ujar Syahrul di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (7/12).
Kemudian, lanjut Syahrul, KPK meminta data ke tingkat Provinsi. “Karena izin awal ada di provinsi. Tapi provinsi juga ternyata enggak punya,” bebernya.
Lantaran ketidaklengkapan data IUP yang dimiliki pejabat tingkat provinsi, tambah Syahrul, KPK pun meminta langsung ke masing-masing kabupaten.
“Dan kabupaten minta lagi di perusahaan. Semua data yang ada di perusahaan,” ucapnya.
Seharusnya pemerintah daerah (Pemda) mempunyai data IUP yang sudah dikeluarkan. Sebab, pengurusan izin awal IUP ada di tingkat pemda.
Sebelumnya, Koalisi Anti Mafia Tambang menemukan berbagai kerusakan lingkungan dari hasil eksplorasi tambang yang ada di wilayah Indonesia. Tak sedikit perusahaan tambang yang melanggar Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan membongkar wilayah hutan lindung serta konservasi yang harusnya dilindungi negara. (merdeka.com) http://www.merdeka.com/uang/dari-pemda-sampai-kementerian-tak-punya-data-izin-tambang.html
Seharusnya wilayah konservasi merupakan daerah yang dilindungi negara. Dia menuding ada peran Pemerintah Daerah dalam persoalan ini. Sebab, izin awal ada di Pemda.
Syahrul mempertanyakan latar belakang Pemda mengeluarkan IUP di wilayah hutan lindung dan konservasi. Syahrul menambahkan, saat ini terdapat 4.672 IUP yang tidak masuk kategori Clean and Clear. “Atau sebanyak 43,87 persen dari total 10.648 IUP. Hal ini menunjukkan lemahnya tata kelola sistem perizinan pertambangan di Indonesia,” tegasnya.
Sederet temuan Koalisi Anti Mafia Tambang soal pelanggaran izin
Dilangsir Merdeka.com – Koalisi Anti Mafia Tambang yang terdiri dari 50 organisasi masyarakat sipil menemukan setidaknya ada tujuh pelanggaran dalam pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP). Pelanggaran tersebut ditemukan di 12 wilayah kaya akan hasil tambangnya. Mulai dari Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan serta Maluku Utara.
Anggota Article 33 Indonesia Triyono Basuki menuding pemerintah daerah (Pemda) kerap menerobos undang-undang yang melarang pembangunan di hutan konservasi Indonesia.
“Lahan seluas 1.372 hektar izin tambang berada di kawasan hutan konservasi,” ujarnya kepada wartawan di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (7/12).
Berikut temuan pelanggaran Koalisi Anti Mafia Tambang :
1. Terdapat 4.672 IUP yang tidak Clean and Clear atau sebanyak 43,87 persen dari total 10.648 IUP.
2. Lahan seluas 1.372 juta hektar izin tambang berada di kawasan hutan konservasi.
3. Untuk 13 IUP di kawasan lindung, Dirjen Minerba dan Kementerian Kehutanan perlu melakukan pengawasan untuk memastikan praktik pertambangan benar-benar menjalankan sesuai regulasi, yakni melakukan praktik pertambangan bawah tanah.
4. Mayoritas pemegang IUP di 12 provinsi belum memenuhi kewajiban jaminan reklamasi dan pasca tambang.
5. Pemerintah harus menindak tegas pemilik IUP yang tidak mendaftarkan perusahaannya sebagai wajib pajak.
6. Pemerintah wajib menindak perusahaan pemegang IUP yang masih belum membayarkan hutangnya dari sektor land rent dan royalti.
7. Berdasarkan perhitungan Koalisi Anti Mafia Tambang, potensi kerugian negara dari land rent yang mengacu kepada PP No. 9 Tahun 2012 tentang tarif dan jenis penerimaan pajak bukan pajak, diperoleh selisih. Selisih antara realisasi penerimaan daerah dengan potensi disebut potensi kerugian penerimaan (potensial lost). Besarnya mencapai Rp 919,18 miliar lebih.