OPINI – Konversi minyak tanah ke elpiji (Liquefied petroleum gas) ternyata kedodoran. Daerah-daerah yang menjadi target konversi mengeluh, karena tiba-tiba minyak tanah menghilang. Jikapun ada harganya mahal, karena tidak ada lagi subsidi. Di Kabupaten Karimun tergolong masih banyak maysarakat golongan ekonomi kebawah, khususnya pedagang kecil kelabakan karena depo minyak menghilang. Sehingga kami menilai minyak tanah masih sangat di butuhkan karena kurang mampu membeli gas, meski tabung gas berisi 3 kg elpiji sudah diberikan gratis.
Kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji itu memang bertujuan baik, yaitu mengurangi subsidi minyak tanah untuk keperluan rumah tangga yang nilainya cukup banyak. Tapi sayang, dalam menentukan kebijakan konversi itu akhirnya memberikan problem di masyarakat. Sejak awal, misalnya pemerintah harus konsisten dalam menentukan kebijakan konversi minyak tanah.
Seandainya saja saat perubahan tersebut terus berjalan, niscaya masyarakat akan lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan energinya. Kompor kompor misalnya, tidak hanya bisa dipakai untuk membakar, tapi juga membakar briket, arang, kayuan kayuan, arang batok dan lain lain.
Tapi sayang suasana sudah tepat itu tiba tiba berubah secara mendadak. Pemakaian minyak tanah ke elpiji bagi masyarakat kecil nicaya akan menimbulkan banyak masalah. Hal ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama, dari aspek fisik. Minyak tanah bersifat cair sehingga transportasinya mudah, pengemasannya mudah, penjualan eceran pun mudah. Masyarakat kecil misalnya bisa membeli minyak tanah hanya 1500 ml sampai 0,5 liter. Mereka dapat membawanya sendiri dengan mudah. Minyak tanah 1500 ml – 0,5 liter bisa juga di masukan ke plastik, kondisi ini tak mungkin bisa dilakukan untuk pembelian elpiji. Ini karena elpiji dijual pertabung yang isinya 3 kg dengan harga Rp. 25.000,- masyarakat jelas tidak mungkin bisa membeli elpiji hanya 3 kg, lalu membawanya dengan plastik.
Kedua, dari aspek kimiawi. Elpiji jauh lebih mudah terbakar dibanding minyak tanah. Secara fisika dan kimia (minyak tanah dan elpiji) tersebut, kita memang kayak mempertanyakan sejauh mana efektivitas dan keamanan kebijakan konversi tersebut.
Sejak adanya kebijakan konversi itu, minyak tanah jarang di temukan. Kalaupun ada harganya sangat tinggi sehingga masyarakat tak sanggup membelinya. Sementara itu, kalau mau beli gas mereka harus membeli 3 kg atau satu tabung elpiji yang harganya berkisar Rp. 25.000,- kondisi ini tampaknya belum di perhatikan oleh pemerintah. Bagi masyarakat kecil membeli bahan bakar Rp. 25.000,- sangat memberatkan, karena penghasilan mereka tiap hari hanya cukup untuk makan sehari, bahkan terkadang kurang. Ini berbeda dengan minyak tanah yang bisa dibeli eceran satu bahkan setengah liter sekalipun. Dari aspek ini kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji akan menimbulkan masalah seperti yang di sebutkan di atas.
Pemerintah setidaknya peka melihat kondisi masyarakat yang ada di Kabupaten Karimun yang sebagian besar penghasilannya pas pasan. Mestinya kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji dilakukan secara selektif. Masyarakat kecil tetap di biarkan memilih untuk sementara waktu, apakah menggunakan minyak tanah atau elpiji yang keduanya di subsidi.
Sementara itu masyarakat yang mampu diharuskan memekai elpiji. Untuk itu perlu ada pendataan penduduk miskin yang akurat di tiap-tiap daerah, seperti Kecamatan Karimun, Kecamatan Tebing, Kecamatan Meral, agar pemberian subsidi tersebut TEPAT SASARAN.
Selain itu, ada keluhan dari masyarakat dalam sebuah kunjungan setiap daerah daerah yang konon menurut pemerintah sudah diberi tabung elpiji gratis, saya menemukan keluhan dari masyarakat yaitu dari segi cara pemakaian dan antisipasi masyarakat jika ada masalah pada tabung gas (elpiji) masih kurang, karena masyarakat banyak yang tidak tahu cara menggunakannya dan semestinya harus ada sosialisasi di semua daerah daerah setempat yang ada di kabupaten karimun ini tentang cara penggunaan elpiji dan gas agar masyarakat tidak lagi takut untuk mencoba memakainya.
Dalam kaitan ini, kondisi masyarakat dan daerah daerah yang bersangkutan meskinya di kaji terlebih dahulu oleh pemerintah sebelum menetapkan kebijakan konversi minyak tanah ke epiji diatas.(*)
Ditulis Oleh : Adek saraswati
fakultas : ilmu sosial dan ilmu politik(fisipol) ilmu administrasi negara, universitas karimun.