+
Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Faisal Basri tampaknya sudah gerah dengan buruknya tata kelola sektor energi. Dia pun membongkar segala macam kebobrokan sektor energi, meski terpaksa harus menuding mantan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa.
Faisal menuding Hatta sebagai biang keladi kekacauan industri bauksit nasional saat ini. Menurutnya, kehancuran industri bauksit nasional lantaran pelarangan ekspor yang dilakukan pemerintah terdahulu atas bahan mentah pembuatan alumunium tersebut mulai 12 Januari 2014. Padahal, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara tak menyebut harus ada pelarangan ekspor.
Dia menuding, larangan itu lahir dari permintaan perusahaan alumunium terbesar Rusia, UC Rusal. Faisal Basri mengaku punya bukti otentik kongkalikong yang dilakukan Hatta Rajasa dengan perusahaan tersebut.
“Ya kan kita bisa konstruksi, prosesnya, perubahan-perubahan itu kemudian kita bisa tahu. Kan saya ada fotonya. Pak Menko (Hatta) dengan wakil PM Rusia kemudian sama Rusal sama Pak Suryo Bambang Sulisto,” ujar Faisal usai diskusi di Kantor Indef, Jakarta Selatan, Selasa (26/5).
Tudingan itu bukan tanpa alasan. Menurut Faisal, seharusnya ini merupakan ranah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Apalagi Rusal menyinggung soal pembangunan pabrik pengolahan atau smelter yang sudah dijanjikan sejak 2007 namun tak kunjung direalisasikan.
“Harusnya kan kalau persoalan ini diserahkan ke ESDM. Karena ESDM yang paling tahu bagaimana sih kalau orang janji bangun smelter. Ya ini janji gombal atau apa,” kata Faisal.
Setelah Hatta mengeluarkan kebijakan pelarangan mineral mentah (raw material), industri bauksit langsung kolaps. Otomatis nilai ekspor bauksit Indonesia merosot. Buktinya, pada 2013 ekspor bauksit bisa menembus 50 juta ton. Setahun kemudian, ekspor bauksit tergerus 50 juta.
“Yang untung siapa? Ya trader. Itulah. Jadi masa kita rela menghancurkan kita sendiri tapi menguntungkan orang lain,” tuturnya.
Dampaknya tidak berhenti sampai di situ. Kebijakan itu berdampak sistemik. PHK massal terjadi di industri tambang bauksit dalam negeri. Tambang tidak lagi menjalankan aktivitas produksi, alat berat ditarik, hingga akhirnya utangnya di bank tidak bisa dikembalikan alias kredit macet.
Secara makro, kebijakan sektoral tersebut berimbas ke melambatnya laju pertumbuhan ekonomi daerah penghasil bauksit.
“Jadi Kalimantan secara keseluruhan pulau itu pertumbuhannya 1,1 persen cuman. Pertumbuhan ekonomi nasional 4,7 persen. Ini cuma 1,1 persen Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah merata semua pertumbuhannya hancur akibat dari ini semua,” bebernya.
Tudingan Faisal ke Hatta terbilang unik, mengingat keduanya sama-sama dilahirkan oleh Partai Amanat Nasional (PAN). Faisal terbilang lebih senior dari Hatta, karena pria kurus tersebut adalah salah satu pendiri PAN pada 1998. Bahkan, Faisal Basri adalah sekjen PAN pertama (1998-2000), sebelum akhirnya digantikan oleh Hatta (2000-2005).
Namun, pada 2001, Faisal menyatakan keluar dari PAN, karena merasa tidak sejalan dengan partai matahari biru yang sedang dipimpin duet Amien Rais-Hatta Rajasa itu. Padahal, saat itu dia masih menjabat ketua DPP bidang Litbang.
Keluar dari PAN pada 2001 tidak membuat Faisal tak peduli dengan partai yang didirikannya itu. Pada musim pemilu 2014 misalnya, dia pernah mengkritik PAN di bawah kepemimpinan Hatta Rajasa sudah tidak punya ideologi. Kritik itu terus berlanjut, sampai dia akhirnya tidak perlu berpikir lama untuk mengkritik Hatta, yang sudah tidak lagi menjabat sebagai ketua umum partai ataupun menteri, soal kacau balau industri bauksit nasional.
+
http://www.merdeka.com/politik/dulu-konflik-di-pan-kini-faisal-basri-serang-hatta-soal-energi-splitnews-2.html