Di tengah kegelapan malam, cahaya obor akan menerangi lingkaran berdiameter 10 sentimeter tepat di jantung mereka.
Pasukan penembak yang terdiri dari 12 orang akan berdiri sekitar lima hingga sepuluh meter dan menembakkan senapan M16s saat diperintah.
Para algojo itu dipilih berdasarkan kemampuan menembak dan kondisi mental serta kebugaran fisik. Mereka menembak secara bergiliran.
“Semua beres kurang dari lima menit,” kata dia. “Setelah ditembak, terpidana itu akan lemas karena sudah tidak bernyawa.”
Seorang dokter memeriksa korban untuk memutuskan apakah dia sudah mati atau belum. Jika belum maka petugas akan menembak terpidana di kepala dalam jarak dekat. Korban kemudian akan dimandikan dan dimasukkan ke dalam peti mati.
Algojo itu mengatakan dia hanya menjalankan tugas berdasarkan aturan hukum.
“Saya terikat sumpah prajurit. Terpidana sudah melanggar hukum dan kami hanya algojo. Soal apakah ini berdosa atau tidak kami serahkan kepada Tuhan.
Setelah melaksanakan eksekusi, petugas menjalani bimbingan spiritual dan psikologi selama tiga hari. Seorang algojo juga diberi batas maksimal jumlah eksekusi yang bisa dilakukannya.
“Kalau cuma sekali atau dua kali tidak masalah, tapi kalau harus berkali-kali bisa mempengaruhi secara psikologi,” kata dia.
“Saya inginnya tidak terus-terusan menjadi algojo. Saya juga tidak suka melakukannya. Jika ada anggota lain, biar mereka saja.”
Suatu hari dia berharap bisa melupakan semua ini. “Saya harap mereka beristirahat dengan tenang,” kata dia. “Begitu pula saya.”
(merdeka.com)