Kundur News – KARIMUN – Mahasiswa asal Kundur di Tanjungpinang menyurati Dinas Pertambangan dan energi (Distamben) Provinsi Kepri menanyakan kejelasan kegiatan pertambangan di Kabupaten Karimun, khususnya yang tengah marak di perairan Pulau Kundur dan sekitarnya.
Upaya itu dilakukan karena para mahasiswa di Kundur saat beberapa kali kesempatan pulang kampung menyempatkan diri turun kelapangan untuk melakukan observasi, guna untuk melihat secara langsung dampak dari kegiatan pertambangan.
Salah seorang mahasiswa Kundur yang tergabung didalam Kesatuan Suara Mahasiswa (KUSUMA) Kepri, Darwis menjelaskan, berdasarkan keterangan yang diperoleh secara langsung dilapangan, dampak positif dari pertambangan kapal isap produksi milik beberapa perusahaan di hampir semua wilayah perairan Kundur ternyata sangat jauh dari apa yang diharapkan masyarakat setempat.
“Sehubungan dengan kembali beroperasinya KIP Timah di perairan Kundur, tepatnya di Kecamatan Ungar dan Kecamatan Kundur sejak akhir Desember 2016 kemarin, telah banyak menimbulkan keresahan dan pertanyaan dikalangan masyarakat. Hal itu berkaitan dengan kejelasan hukum tindak pidana perusahaan tambang timah swasta PT. Karimun Mining yang tertangkap tangan oleh Kanwil DJBC Khusus Kepulauan Riau pada tahun 2013 silam, kapal tersebut tertangkap saat sedang menyeludupkan hasil kekayaan alam (Timah) ke Singapura dengan Modus menggunakan Kapal kayu. Sampai saat ini berkas perkara telah diserahkan ke Kejati Kepri, namun sampai sekarang kejelasan hukum permasalahan tersebut belum ada titik terang.
Terkesan dalam penanganan permasalahan ini jalan di tempat sehingga luput dari sorotan publik. Berdasarkan undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik, dimana publik berhak memperoleh informasi guna mewujudkan partisifasi masyarakat terhadap segala aspek pembangunan didalam suatu daerah. Dan ini harus disampaikan kepada masyarakat,” terangnya.
Darwis berharap permasalahan tersebut agar secepatnya diselesaikan dan dipublikasikan ke publik tanpa berlarut-larut. Sehingga tidak akan menimbulkan permasalahan baru dikemudian hari. Hasil dari diskusi dilapangan bersama masyarakat nelayan didaerah tempat kapal tersebut beroperasi menguatkan lagi bahwa, kontribusi perusahaan terhadap kesejahteraan masyarakat sangatlah minim, dimana nelayan memperoleh dana kompensasi dari perusahaan tambang swasta tersebut sebesar Rp.170.000 per bulan. Jika dibandingkan dengan tingkat kebutuhan hari-hari sangat jauh dari kata cukup.
“Bisa dikatakan mereka dibayar lebih kurang Rp6000 per harinya. Hanya sebatas dana konpensasi yang mereka peroleh hari ini. Dana tersebut sering kali mengalami keterlambatan dari jadwal yang telah ditetapkan oleh nelayan. Bahkan nelayan setempat menjelaskan bahwa beroperasinya kapal timah diperairan mereka tanpa ada sosialisasi. Nelayan juga menyampaikan bahwa tanda tangan yang dibawa oleh pihak pertambangan merupakan tanda tangan absensi rapat mereka, bukan tanda tangan persetujuan masuknya perusahaaan tersebut melalui pihak ketiga yang disebut Nelayan Terpadu Kabupaten Karimun (NTKK),” terangnya.*