Ilustrasi aksi corat-coret siswa SMA
Ilustrasi aksi corat-coret siswa SMA

UJIAN Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di tingkat SMA sederajat telah berakhir pada tanggal 08 April 2019 lalu. Berakhirnya ujian yang dilakukan penguji, bukan berarti berakhir pula proses belajar mengajar dan mendidik, masih banyak beban dan tangung jawab yang menanti didepan kita, bukan hanya bagi siswa tetapi bagi semua pihak yang perlu kita renungkan bersama.

Kelulusan adalah tanda suksesnya seorang siswa setelah menjalani tahap-tahap tertentu termasuk didalamnya UNBK. Kita akui status lulus adalah hal yang bergensi bagi tiap Siswa di Indonesia khususnya siswa di Kabupaten Karimun yang kita cintai. Di hari pengumumuan kelulusan tak heran kerap terjadi aksi corat-coret seragam karena itu merupakan cara mereka dalam melampiaskan kesenangannya. Tidak hanya itu aksi konvoi kendaraan bermotor meski pengumuman bertepatan pada bulan Ramadhan, namun aksi-aksi tetap saja tak terelakkan, konon dengan konvoi seolah mereka ingin memberi tahu kepada masyarakat ‘bahwa mereka adalah siswa yang telah lulus’. Namun sayangnya masyarakat malah tak pernah peduli serta menghiraukan hal tersebut.

Aksi konvoi kadang-kadang berubah menjadi kesan resah, resah khususnya bagi pengguna jalan yang lain, karena mereka kerap melanggar aturan lalu lintas, wajar jika hal tersebut hingga menelan korban jiwa. Meski hal terebut menjadi suatu hal yang terlarang, namun corat coret dan konvoi tetap saja mereka lakukan secara turun temurun. Apakah hal ini menjadi sebuah tradisi?.

BACA :  Kolaborasi Antara Pemerintah Daerah Dengan Perguruan Tinggi, Universitas Karimun Teken MoU dengan Desa Penarah

Pihak sekolah dan para ahli didik di Kabupaten ini sudah dengan segala upayanya melakukan pencegahan agar hal tersebut tidak terjadi dan tidak terus terulang. Namun sampai sejauh manakah upaya pencegahan yang telah mereka lakukan, nyatanya hingga saat ini tradisi terlarang itu terus membudaya. Larangan seolah hanya sebatas omong-kosong belaka, melakukan larangan bak hanya sebatas ‘melepaskan batuk ditangga’, melakukan larangan seolah hanya ingin melepaskan beban bahwa telah melakukan larangan, percuma jika larangan tidak disertai dengan sangsi yang diterapkan.

Jika kita melihat di berbagai media sosial, hari kelulusan acap terjadi aksi hura-hura, seolah mereka bebas akan melakukan apa saja asal mereka senang, termasuk aksi melepaskan jilbab agar tampil lebih leluasa. Hal ini jika terus dibiarkan terjadi, terulang lagi dan lagi, tidak tertutup kemungkinan pesta mereka terpengaruh dari hal yang terlarang seperti narkoba, dan atau sejenisnya. Nauzubillah min zalik.

BACA :  Universitas Jambi dan Universitas Karimun, Luncurkan Program Pengabdian Masyarakat Internasional, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Akademik

Peran orang tua memegang peranan penting untuk memberi pengertian bahwa kesenangan sesaat yang mereka lakukan itu sangat tidak bermanfaat. Perlu diingatkan apa yang akan mereka lakukan setelah lulus ?. Jika budaya kita masih buruk dan sikap yang tidak pernah berubah maka para kelulusan hanya akan menjadi sebuah beban, tak lain adalah beban negara. Sebab mereka hanya akan menambah jumlah pengangguran Indonesia, khususnya Kepri dan dibumi berazam Karimun.

Mungkin mereka pikir dengan aksi corat-coret dan hura-hura dapat menentukan jalan hidup mereka kedepannya. Perlu digaris bawahi, bahwa kelulusan bukanlah akhir dari pendidikan, justru itu merupakan momen sebuah gerbang utama yang akan menentukan kehidupan selanjutnya. Mampukah kita memanfaatkan moment tersebut?.

Pada kesempatan ini izinkan penulis berpesan.
Bagi siswa SMP, maka mereka akan menentukan sekolah mana yang akan mereka pilih, apakah SMA, SMK, MA, atau mungkin mereka sudah gugur sejak awal untuk melanjutkan sekolah. Bagi lulusan SMA sederajat, ini akan menjadi pilihan yang lebih sulit, sebab walaupun mereka ingin berkuliah namun tidak semua dari mereka dapat berada di perguruan tinggi.

BACA :  Kolaborasi Antara Pemerintah Daerah Dengan Perguruan Tinggi, Universitas Karimun Teken MoU dengan Desa Penarah

Banyak pilihan yang harus mereka pilih, apakah kuliah di PTN atau mungkin di PTS yang masih mempunyai kualitas. Atau yang lebih parah mereka akan masuk dalam perguruan tinggi abal-abal. Asalkan mereka punya banyak dana, maka kuliah bisa diatur, yang penting dapat ijazah. Dan diantara pilihan nasib yang lain, ada yang melamar pekerjaan.

Mereka akan tahu betapa susahnya mencari pekerjaan di negeri ini. Kesana kemari ditolak, atau jika diterima hanya sebagai OB, helper, security, sales, atau mereka akan masuk ke dalam dunia industri dimana para pengusaha membutuhkan tenaga mereka namun jumlahnya tidak banyak. Dan diantara pilihan terakhir adalah mereka akan mendapat gelar pengangguran.

Sungguh disayangkan jika kita belum bisa merubah budaya yang selama ini sudah menjadi tradisi turun temurun, walaupun sebenarnya kita semua tahu bahwa budaya itu sangat buruk dan tidak membawa manfaat.

Entah sampai kapan negara ini melahirkan lulusan-lulusan yang hanya dapat berhura-hura dengan kemampuan biasa-biasa saja. Apakah kita dapat mengakhiri budaya buruk ini? Kita lihat saja nasib bangsa ini 10 tahun mendatang.*

Bachri-Jamal
Bachri-Jamal

Penulis : Bachri Jamal
Ketua Komisariat PMII STIE Cakrawala Karimun

Previous articleBupati Safari Ramadhan di Bukit Senang dan Kampung Tanjung
Next articleSafari Ramadhan Di Desa Kiabu, Masyarakat Ingin Sarana Pendidikan Setingkat SMA