Kundur News – Denpasar. Media Publikasi Pemberitaan diharapkan tidak memberikan panggung pemberitaan pada gerakan-gerakan intoleransi. Mengingat selama ini pemberitaan terhadap gerakan dan pernyataan intoleransi telah menyebabkan keresahan di masyarakat.
Harapan tersebut disampaikan Koordinator Akademisi Muda Bali (AMUBA) Sadwika Salain, M.Eng (Biomed) pada keteranganya di Denpasar, Senin (6/2/2017)
Sadwika menghimbau media massa untuk menyajikan pemberitaan yg berimbang, akurat, dan bertanggungjawab. Tak bisa dipungkiri, maraknya kasus intoleransi SARA tidak terlepas dari peran media massa dalam membentuk dan mempengaruhi opini publik. Walaupun pemilihan tema pemberitaan, termasuk tema intoleransi SARA, adalah hak media yang dijamin oleh undang-undang yang patut kita hargai.
“Namun disisi lain, dengan pemberitaan yang intens tentang intoleransi SARA, media massa secara tidak sadar telah menjadi alat propaganda bagi tumbuhkembangnya faham radikal – biang dari sikap intoleran ini” ujar Sadwika.
Menurut Sadwika, pemberitaan tentang kasus intoleransi SARA yang berlebihan juga dapat berpengaruh buruk pada psikologis masyarakat (utamanya remaja dan anak-anak). Pengaruh buruk tersebut berupa ketidakpekaan atau bahkan permakluman atas tindakan kekerasan atas dasar SARA sebagai sebuah kelaziman dalam demokrasi.
Sadwika mengingatkan bahwa fenomena radikalisme di tanah air semakin mengkhawatirkan. Penyebaran gerakan ini tidak hanya telah menjangkau kehidupan sosial masyarakat tetapi juga menyusup pada infrastruktur formal seperti institusi pendidikan hingga ke lembaga-lembaga negara.
Sadwika menyebutkan bukti keberadaan faham radikal ini di tanah air terlihat dari maraknya kasus intoleransi terkait suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Dalam dua belas tahun terakhir, tak terhitung jumlah tindak anarkisme terkait SARA yang telah menimbulkan korban, baik fisik maupun non fisik, tidak hanya terjadi pada ruang publik namun masuk hingga ke ruang-ruang kelas.
Sadwika menekankan bahwa kedepan perlunya penguatan pemahaman empat pilar kebangsaan (Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945 dan NKRI) di kalangan pemuka agama, pimpinan ormas, tokoh masyarakat, pendidik, pemuda, pelajar dan seluruh rakyat Indonesia.
Termasuk mengingatkan pemuka agama dan masyarakat untuk tidak memisahkan pendidikan agama dengan nilai-nilai kemanusian (humanisme), kebangsaan (nasionalisme) dan keberagaman (pluralisme). Selain itu para akademisi juga harus mengambil peran dalam upaya meredam pemikiran-pemikiran intoleransi. “segenap akademisi di berbagai level pendidikan untuk tetap menjadi penjaga nilai-nilai akademis yang kritis, inklusif, rasional dan empiris” tegas Sadwika.*