OPINI – Semangat reformasi dalam sejarah panjang Indonesia melahirkan sebuah gagasan baru, yaitu pengelolaan kepemerintahan daerah di-serahkan sepenuhnya kepada daerah masing-masing, dengan kata lain otonomi daerah. Sistem pengelolaan daerah ini untuk mempercepat pembangunan fisik maupun nonfisik yang ada di daerah. Diharapkan semua daerah yang telah menjelma menjadi otonomi mampu mengembangkan dan menggali potensi daerahnya agar kemajuan dan kesejahteraan manusianya.
Pola pembangunan seperti ini merupakan antithesis dari sistem pengelolaan daerah di era orde baru, yang mana setiap daerah dalam pembangunannya tersentralisasi oleh pusat.
Sentralisasi ini menyebabkan sulitnya daerah-daerah untuk mengembangkan daerahnya. Akibat dari sentralisasi ini, beberapa daerah tertinggal dibandingkan daerah-daerah lainnya. Dapat dikatakan, “siapa cepat dia dapat”. Setelah reformasi, lahir-lah UU nomor 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah. Undang-undang yang mengamanatkan kepada daerah untuk mengelola keuangan, potensi, dan pendapatan daerah untuk kemakmuran daerahnya masing-masing.
Bicara tentang UU otonomi tentu tidak akan terlepas dari sistem pengelolaan daerah itu sendiri. Manajerial pengelolaan ini diharapkan mampu menciptakan rasio pembangunan postif. Namun, pada kenyataannya belum mampu membayar ekspektasi dari Undang-undang itu sendiri. Masih banyak terjadi kekurangan dan kesalahan dalam pengelolaannya. Terlebih pada pengelolaan anggaran daerah. Semangat otonomi itu tercederai oleh banyaknya tangan-tangan kotor pejabat daerah yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Data kemendagri telah mencatat ratusan kepala daerah terlibat kasus korupsi, pejabat daerah yang ditangkap Komisi pemberantasan Korupsi (KPK), konflik-konflik antarpendukung kepala daerah, dan masih banyak lagi persoalan-persoalan dari pelaksanaan UU otonomi daerah ini. Apa yang salah? Banyak masyarakat awam bertanya tentang persoalan itu. Mengapa semangat otonomi daerah untuk menutup celah kekurangan pada sistem sentralisasi menuju sistem disentralisasi, malah menimbulkan persoalan baru yang tidak kalah peliknya.
Selain persoalan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), terkikisnya rasa nasionalisme merupakan salah satu indikator dari implementasi UU otonomi daerah. Nasionalisme berubah menjadi rasa kedaerahan. Masyarakat daerah tidak lagi melihat kepentingan nasional merupakan tujuan berbangsa dan bernegara. Satu daerah dengan daerah yang lain berlomba-lomba menunjukan kedaerahan. Jika hal ini terus terjadi, tidak menutup kemungkinan proses bernegara dan semangat otonomi daerah terkaburkan oleh rasa kedaerahan.
Kelebihan otonomi daerah
Pelimpahan pengelolaan pembangunan daerah yang diberikan seluas-luasnya kepada daerah dalam mengatur pemerintahan, penggalian potensi sumber daya alam, Pendapatan Asli Daerah, dan pembangunan tata ruang pembangunan mencermin dalam UU otonomi itu sendiri. Seyog-yanya, melalui otonomi daerah, telah dibuka ruang seluasnya dalam proses memajukan hidup dan kehidupan manusia. Sebuah cita-cita yang sangat mulia, yang telah dicanangkan, digagas, diciptakan, dan dibuat oleh pemimpin-pemimpin bangsa ini.
Kelemahan otonomi daerah
Mahalnya pelaksanaan otonomi daerah ini dapat terlihat dari cara menentukan kepala daerahnya. Sistem pemilihan langsung dalam menentukan pemimpin daerah berdampak pada besar-nya anggaran yang harus dikeluarkan oleh calon pemimpin itu. Berikutnya, untuk meraih puncak pemimpin daerah dibutuhkan banyak orang sebagai suksesor sang calon pemimpin.
Banyak orang, maka berbanding lurus dengan kebutuhan anggaran yang besar agar berhasil meraih puncak kepemimpinan daerah. Biaya publikasi untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas sang calon juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit, biaya kampanye akbar, serta membagi-bagikan souvenir kampanye. Harga yang sangat mahal yang harus dikeluarkan oleh sang calon pemimpin daerah.
Besarnya pembiayaan untuk menjadi kepala daerah terindikasi banyaknya kepala daerah melakukan tindak pidana korupsi setelah menduduki jabatan kepala daerah. Mutasi pejabat daerah karena tidak pro dengan calon yang telah menang merupakan bagian dari preseden buruk dari metode pemilihan langsung ini.
Akibatnya, tata kelola pemerintahannya hanya berkuat pada masalah itu-itu saja. Apa daya, amanat UU telah menentukan bahwa setiap kepala daerah harus dipilih langsung melalui pemilihan kepala daerah. Egosentris pemimpin daerah berakibat pada tercederanya demokrasi otonomi daerah itu sendiri. Siapakah yang akan kita salahkan?
Harapan
Pascaruntuhnya rezim orde baru dan berganti pada era reformasi dalam menentukan pembangunan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia, menghasilkan salah satu produk payung hukum yang bernama Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang otonomi Daerah. Lahir-nya UU ini menjadi sebuah harapan baru dalam mengurusi masalah pembangunan, baik fisik maupun pembangunan manusia Indonesia. Undang-undang ini bak angin segar diantara kemarau panjang persoalan pembangunan Indonesia. Kemudian, apakah UU otonomi ini berjalan sebagaimana yang telah diamanatkan? Hingga hari ini belum juga terlihat progresnya.
Harapan demi harapan mengenai kemajuan dan kemakmuran masyarakat masih terus dilakukan. Otonomi daerah terus dijalankan dengan semangat perubahan yang lebih baik. Telah nyata tersirat dalam UU tersebut bahwa otonomi daerah dibuat sebagai instrumen percepatan pembangunan daerah, peningkatan taraf hidup masyarakat, dan dengan tetap mempertahankan keraifan lokal bangsa ini. Karena bangsa ini terdiri dari berbagai suku bangsa.
Kenyataan
Sudah sepuluh tahun lebih otonomi daerah berjalan. Namun pola-pola pelaksanaannya tidak juga menghasilkan kemakmuran masyarakatnya. Kenyataan seperti ini membuat sebagian besar masyarakat bertanya-tanya mengapa hal itu bisa terjadi.
Mengapa, mengapa, dan mengapa otonomi daerah tidak berdampak signifikan. Pertanyaan yang sama selalu muncul dalam benak masyarakat. Malah mengarah kepada desintegrasi bangsa. Konflik demi konflik daerah masih saja terus terjadi. Konflik antarpendukung, konflik sesama saudara, konflik perebutan lahan ekonomi, dan masih banyak lagi konflik-konflik diantaranya.
Sangat disayangkan bila semangat pembangunan daerah hanya dijadikan alat mengejar kekuasaan semata. Berlomba-lomba mencapai puncak kepemimpinan daerah hanya untuk kepentingan golongan, bukannya memakmurkan daerah yang dipimpin. Cederalah sudah demokrasi yang diperjuangkan, jika para pemimpin daerah dalam mengelola pemerintahan daerahnya hanya berorientasi pada mengais pundi-pundi kekayaan pribadi.
Seharusnya otonomi daerah dijadikan pondasi dalam mencapai seluas-luasnya untuk kemakmuran bangsa dan negara. Semoga ke depan otonomi daerah benar-benar diimplementasikan sebagai bentuk peningkatan kemakmuran masyarakat, bukan untuk kemakmuran golongan. ***
Ditulis Oleh: Dezilawati, FISIPOL, UNIVERSITAS KARIMUN