Pemerintahan Jokowi tetap mempersiapkan pemindahan ibu kota negara dari Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta ke kota lain. Pemerintah menyebut Pulau Kalimantan menjadi tempat ideal bagi pemindahan ibu kota negara.
Sejak era pemerintahan Presiden Sukarno, telah diwacanakan pada 1957 bahwa Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah, sebagai tempat perpindahan ibu kota negara dari Jakarta. Kini, pemerintah memandang Kota Palangka Raya kurang tepat.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof Chaniago mengungkapkan Palangka Raya sudah tidak layak lagi menjadi ibu kota karena daya dukung lahan yang tidak memadai. Demikian dikutip dari antara.
Meskipun Palangka Raya memiliki wilayah yang luas yakni 2.679 kilometer persegi, atau hampir empat kali lebih luas dibandingkan luas Jakarta 740,3 kilometer persegi, lahan layak huni masih kecil dan rawan terjadi banjir apabila salah dalam mengelola.
Andrinof bahkan menyebut dua kota lain di Kalimantan Tengah, yakni Sampit (ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur) dan Pangkalan Bun (ibu kota Kabupaten Kotawaringin Barat) sebagai wilayah yang cocok menjadi sasaran pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan karena jaraknya yang lebih dekat dari Pulau Jawa sehingga tidak akan sulit untuk menjaga kesinambungan.
Saat melakukan kunjungan kerja di Palangka Raya pada pekan lalu, Andrinof Chaniago yang pernah menjadi salah seorang anggota Tim Visi Indonesia 2033 yang terbentuk pada 2008 atau pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyatakan Kementerian PPN/Bappenas sedang membuat peta jalan untuk pemindahan ibu kota negara.
Penyiapan pemindahan ibu kota negara itu berdasarkan pertimbangan bahwa kapasitas Jakarta beberapa tahun ke depan diperkirakan tidak dapat lagi menampung konsentrasi dan berbagai apek kegiatan penduduknya.
Dalam kurun waktu lima tahun ke depan diperkirakan berbagai aspek dari pembangunan sistem transportasi, kelestarian lingkungan dan kualitas sanitasi sulit untuk menandingi percepatan penambahan beban penduduk di Jakarta. Akibatnya adalah banyak daerah di Jakarta yang dikhawatirkan menjadi daerah tidak layak huni.
Sementara itu apabila melihat kapasitas Pulau Jawa pada saat ini, Andrinof mengatakan ibu kota tidak mungkin jika dipindahkan ke kota yang berada di Pulau Jawa.
Hal tersebut juga disebabkan Pulau Jawa merupakan sumber produksi pertanian di Indonesia, sehingga apabila ibu kota dipindah ke kota di Pulau Jawa dikhawatirkan akan terjadi alih fungsi lahan yang dapat mengurangi luas lahan pertanian dan berdampak kepada tingkat produksi pertanian.
“Jadi akan sangat ‘urgent’. Daya dukung Pulau Jawa tidak cukup,” kata Andrinof.
Menteri PPN/Kepala Bappenas menyebut pemindahan ibu kota negara idealnya di Kalimantan karena lebih dekat dari Jawa. Kalau terlalu jauh dari Jawa akan susah menjaga kesinambungan.
Kota baru Salah satu cara pemerintah mengincar ibu kota negara baru adalah dengan memprioritaskan pembangunan 10 kota baru di luar Jawa yang nantinya dapat dijadikan ibu kota baru.
Pemerintah pusat juga telah mengalokasikan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) untuk pembangunan kota baru tersebut.
Untuk dapat merealisasikan pemindahan ibu kota seperti yang diwacanakan tentu membutuhkan perhitungan yang matang, biaya yang besar dan juga waktu yang cukup lama.
Andrinof menyebut salah satu kota baru yang dipersiapkan setelah melewati proses kajian untuk dilakukan pembangunan adalah Tanjung Selor, ibu kota Kalimantan Utara. Luas Tanjung Selor adalah 1.279 kilometer persegi dan sekaligus menjadi ibu kota Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Provinsi Kalimantan Utara merupakan pemekaran dari Kalimantan Timur.
Pembangunan kota baru itu merupakan salah satu rencana aksi pemerintah untuk meningkatkan kualitas pembangunan dengan sasaran antar kewilayahan seperti yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Tujuan dari pembangunan kota baru itu antara lain terjadi pemerataan pembangunan dan menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Pulau Jawa.
Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Tim Visi Indonesia 2033 telah melakukan berbagai kajian untuk menyiapkan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta.
Setidaknya ada tiga pertimbangan yakni, pertama, memindahkan ibu kota negara dari Jakarta sekaligus memindahkan pusat kegiatan ekonomi dan perdagangan dari Jakarta, sebagaimana pemindahan ibu kota Brazil dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Kedua, memindahkan ibu kota negara dari Jakarta tetapi tetap mempertahankan Jakarta sebagai pusat kegiatan ekonomi dan perdagangan seperti ibu kota Myanmar dari Yangoon (tetap pusat ekonomi dan perdagangan) ke Naypyitaw (ibu kota negara, pusat administrasi pemerintahan).
Pertimbangan ketiga, tetap ibu kota negara dan pusat ekonomi serta perdagangan di Jakarta tetapi memindahkan pusat administrasi ke daerah lain, seperti ibu kota Malaysia tetap di Kuala Lumpur tetapi pusat administrasi pemerintahan di Putra Jaya.
Andrinof saat masih menjadi anggota Tim Visi Indonesia 2033, pada pertengahan 2010 pernah menyampaikan perlunya memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke kota baru di luar Pulau Jawa. Hampir sepanjang 2010, pemberitaan seputar wacana pemindahan ibu kota negara ini mengemuka di tingkat elit pemerintahan.
Pada 2013, Susilo Bambang Yudhoyono pernah menyampaikan bahwa dari tiga pertimbangan dari tim yang dibentuknya itu, cenderung mempertahankan Jakarta sebagai pusat ekonomi dan perdagangan serta bidang lainnya di Jakarta tetapi ibu kota negara pindah dari Jakarta ke tempat lain.
Namun, Yudhoyono menyerahkan kepada penggantinya untuk memikirkan dan memutuskan pemindahan ibu kota, dengan mempertimbangan pertumbuhan ekonomi, tidak ada solusi permanen untuk mengatasi permasalahan dan beban kota Jakarta, serta ada urgensi pemindahan ibu kota yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Selain itu biaya pemindahan ibu kota negara juga tidak sedikit, baik biaya politik, biaya ekonomi, biaya sosial, dan sebagainya.
Sepanjang 2012 hingga 2013 wacana pemindahan ibu kota negara mengemuka dan dukungan telah menguat dari Ketua MPR Taufiq Kiemas kala itu dan Ketua DPR Marzuki Alie saat itu.
Ketika Joko Widodo masih menjabat Gubernur DKI Jakarta, pada awal 2013 juga menyetujui pemindahan ibu kota dari Jakarta ke daerah lain namun harus memenuhi sejumlah syarat, antara lain bila Jakarta tak mampu lagi menanggung beban, misalnya dalam mengatasi banjir, kepadatan penduduk, kemacetan, atau transportasi publik.
Andrinof telah memaparkan hasil kajian Tim Visi Indonesia 2033 soal pemindahan ibu kota ini pada 22 Agustus 2010. Disebutkan bahwa pemindahan ibu kota ke Kalimantan, meskipun akan memakan biaya hingga Rp100 triliun, tidak dikeluarkan sekaligus.
Pembiayaan dilakukan dalam jangka waktu 10 tahun. Biaya tersebut merupakan investasi bangsa yang akan menghasilan keuntungan berlipat-lipat dalam jangka panjang, untuk masa depan NKRI sepanjang usianya. Ibu Kota yang baru akan menambah daya tarik Indonesia di mata dunia internasional, dan daya tarik itu akan mendatangkan nilai devisa bagi negara melalui aliran masuk investasi maupun wisatawan. Sejauh kita bisa mendorong persebaran kedatangan pemodal dan wisatawan asing itu ke berbagai wilayah di Indonesia, peningkatan devisa itu tentu akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
Pengeluaran Rp100 triliun untuk waktu 10 tahun, atau kurang dari satu persen nilai APBN, jelas jauh lebih rendah dibandingkan kerugian akibat kemacetan di Jakarta yang sekarang mencapai di atas Rp20 triliun per tahun, dan degradasi lingkungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Apabila kerugian akibat kemacetan tersebut digabungkan lagi dengan kerugian akibat banjir, kemerosotan daya dukung lingkungan, kemerosotan kualitas hubungan sosial, dan sebagainya, dengan nilai yang terus meningkat dari tahun ke tahun, investasi memindahkan ibu kota menjadi jauh lebih besar lagi manfaatnya.
http://www.merdeka.com/peristiwa/pemerintah-jokowi-mau-pindahkan-ibukota-ke-sampit-atau-pangkalan-bun-splitnews-4.html