penyair-saut-situmorang-tersangka-pencemaran-nama-baik-di-facebook

 

 

+

+

+

Setelah sekian lama menjadi saksi kasus pencemaran nama baik, penyair asal Yogyakarta, Saut Situmorang, ditetapkan sebagai tersangka. Saut dipolisikan oleh penyair perempuan Fatin Hamama karena telah memakinya dengan kata ‘bajingan’ lewat media sosial Facebook.

Perihal status tersangka ini ditunjukkan oleh surat pemanggilan pemeriksaan Polres Jakarta Timur yang dikirimkan kepada Saut. Dalam surat tertanggal 2 September 2015 yang diteken Kasat Reskrim Polres Jakarta Timur, Kompol Tejo Yuantoro itu, Saut diminta hadir untuk pemeriksaan pada Jumat, 11 September mendatang.

Saut dituduh melakukan penghinaan/pencemaran nama baik melalui media elektronik sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat 1 jo pasal 27 ayat 3 UU RI Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau pasal 310 KUHP dan/atau pasal 311 KUHP.

Menanggapi penetapan status tersangka itu, Saut mengatakan hal ini sebagai sebuah lelucon.

“Pemerkosa yang udah tersangka tetap bebas keliaran nyari korban baru sementara yang cumak maki di Facebook diburu untuk dipenjarakan!” kata Saut lewat dinding Facebook-nya kemarin.

Menurut Saut, penggunaan kata-kata tertentu dalam debat sastra tidak serta merta dapat dipidanakan. Soal kata ‘bajingan’, tutur dia, pernah digunakan dalam perdebatan singkat antara penyair WS Rendra dan penyair Darmanto Jatman pada 33 tahun lalu, tepatnya tahun 1982.

Pada waktu itu, ujar Saut, Hardi (redaktur Majalah Sastra Horison) mewawancarai Rendra dan dimuat dalam Majalah Sastra Horison edisi Nomor 11 (November) Tahun 1982 (halaman 353-361) dengan judul: Rendra: Saya Punya Mental Juara.

Dalam wawancara itu Rendra ditanyai tentang penilaiannya terhadap puisi-puisi sejumlah penyair Indonesia, termasuk puisi-puisi penyair Darmanto Jatman, yang menggunakan bahasa gado-gado, bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Inggris.

Menurut Rendra puisi-puisi Darmanto itu tidak bernilai, dia hanya cari efek saja, tidak mempunyai disiplin estetika, nilainya rendah, bahkan memalukan. Rendra mengatakan, “Lhhaaa ini kan hanya mengejar efek saja. Lalu mengejar efek ini, disiplin estetika apa? Cari efek itu kan kalau seorang actor ‘cari efek’ memalukan sekali.”

Dalam Majalah Sastra Horison edisi berikutnya Nomor 12 (Desember) Tahun 1982 (halaman 434-435) dimuat tanggapan balik sejumlah penyair atas wawancara Rendra, dengan judul Menanggapi Rendra.

Darmanto mengatakan: Dia itu bajingan, kok. Ungkapan Jawa yang saya pakai itu kan merupakan tesa saya yang harus dijawab oleh sejarah. Apa yang saya tulis bukan hanya sekadar mencari efek. Ia merupakan pencerminan kegelisahan saya sebagai orang Jawa yang dijajah oleh bahasa Indonesia.

Selang beberapa waktu kemudian yakni awal tahun 1983, lanjut Saut, Rendra diundang membacakan puisi-puisi pamfletnya di Universitas Diponegoro Semarang tempat Darmanto Jatman mengajar.

Pada waktu dimintai tanggapan pers atas penampilan Rendra di Semarang, Darmanto memujinya sebagai penyair kuat Indonesia yang belum ada tandingannya. Sejumlah surat kabar terbitan Semarang, seperti Suara Merdeka dan Wawasan memberitakan tanggapan sportif Darmanto Jatman.

“Peristiwa menarik ini saya ikuti betul, karena pada waktu itu (1981-1985) saya kuliah di Semarang dan sesekali ikut terlibat dalam kegiatan sastra,” ujar Saut.

Menurut Saut, penggunaan kata ‘bajingan’ yang digunakan Darmanto menanggapi penialaian Renda atas puisi-puisinya adalah ungkapan spontan. “Dan itu biasa dalam dunia perdebatan sastra,” ujarnya.

+
Sumber : Merdeka.com

Previous articleKebakaran Hutan di Sei Sebesi Kundur
Next articleApa misi PDIP langsung kritik habis-habisan Fadli Zon dkk?