Kundurnews – Negara Jepang, Negeri matahari terbit ini penghasil industri video porno terbesar di dunia. Tak kurang dari 80 ribu video porno dihasilkan dalam setahun.
Para pemeran dalam video porno itu ada yang menjadi selebritis kaya raya.
Legalnya pornografi di Jepang untuk memproduksi, menjual dan menyebarluaskan konten pornografi, karena sejak dahulu kala, masyarakat Jepang sudah terbiasa dengan hal itu.
Di Jepang, industri film porno dilegalkan dengan alasan untuk menekan tindak kejahatan seksual.
Dan ternyata, angka pemerkosaan ataupun pelecehan seksual di sana sangat rendah.
Dari catatan kepolisian, tak ada catatan kejahatan diakibatkan kecanduan film porno.
Selain hukuman yang sangat berat untuk kasus pelecehan seksual, dalam tradisi masyarakat Jepang sendiri, orang yang melakukan itu dianggap gila.
Lucunya, orang Jepang juga tidak memandang rendah setiap artis porno karena pekerjaan itu dianggap bukan hal yang tabu.
Justru, praktik-praktik prostitusi yang dianggap rendah dan pemerintah Jepang melarang tempat-tempat prostitusi.
Tahun 2014, Jepang meluncurkan UU pornografi anak. Salah satunya, melarang anak-anak untuk memiliki konten porno.
Hanya saja, heboh dan glamornya industri pornografi di Jepang ternyata tidak seperti yang dibayangkan.
Tidak semua bintang porno di Jepang yang hidup kaya raya seperti Maria Ozawa, Sora Aoi atau sederet bintang lainnya.
Banyak artis Jepang yang terjebak dalam industri ini karena iming-iming menjadi supermodel, bintang film serta pendapatan yang besar.
Namun, mereka sulit untuk melawan karena jika usianya dianggap sudah dewasa, 18 tahun, pengadilan akan sulit mengabulkan gugatannya.
Saki Kozai, seorang bintang porno yang meninggalkan profesi itu mengaku, awalnya ia mendapat tawaran kerja setelah juara sebagai model pramuka di sebuah kota.
Ia yang saat itu berusia 24 tahun pun berangkat ke Tokyo karena tawaran pekerjaan tersebut, lalu menandatangani kontrak dengan sebuah agen model.
Hasri pertama bekerja, Kozai lkangsung disuruh membuka pakaian dan berhubungan seks di depan kamera.
“Saya tidak bisa melepas pakaian saya. Semua bisa saya lakukan sambil menangis,” ceritanya kepada AFP.
“Ada sekitar 20 orang di sekitar saya, menunggu. Tidak ada wanita yang bisa mengatakan ‘tidak’ ketika mereka dikelilingi sejumlah pria dan memaksanya (melakukan) seperti itu,” katanya.
Saat ini Kozai berusia 30 tahun. Ia akhirnya menyatakan berhenti karena sudah lelah melakukan ribuan kali adegan porno.
Sisi gelap industri porno Jepang memang jarang dibahas, termasuk hak-hak mereka yang bekerja di dalamnya.
Namun, tentu saja mereka sulit mengeluhkan hal itu secara hukum karena mereka dibayar per jam.
Bintang baru dibayar 750 yen atau sekitar Rp 94 ribu per jam, bukan per produksi. Untuk satu adegan film, bisa butuh lia hingga delapan jam.
Film Jepang yang terkenal impresif hanyalah trik yang didramatisir saja, meskipun hal itu banyak dikecam oleh aktivis perlindungan perempuan dan hak asasi.
Banyak yang menggugat perlakuan tidak adil terhadap mereka, termasuk melakukan adegan brutal. Tetapi umumnya kandas.
Satu-satunya kasus gugatan pemeran film porno di Jepang yang berhasil terjadi Juni lalu, terkait tuduhan terhadap agen yang memaksa seseorang untuk tampil di lebih 100 video porno.
Tiga orang ditangkap atas kasus itu dan asosiasi perfilman di Jepang meminta maaf. Namun, perusahaan hanya diwajibkan membayar ganti rugi sebesar 240 ribu yen atau sekitar Rp 300 juta.
Sebuah investigasi yang dilakukan AFP di Jepang menyebutkan bahwa banyak artis yang tertipu oleh para agency.
Industri film porno di Jepang sangat rapi, bekerja seperti intelijen.
Mereka memburu sejumlah perempuan muda yang mengalami masalah di seluruh daerah: umumnya masalah keuangan.
Para kaki-tangan agen tersebut kemudian memperkenalkan diri dan mengajak waniota itu makan- makan serta membelikan sejumlah barang.
Bila memiliki utang, utangnya pun dilunasi.
Setelah itu, bisa diduga, perempuan tersebut masuk perangkap para agen.
Wanita lain yang diwawancarai AFP juga mengaku tertipu karena sebuah agen berjanji untuk membantunya menjadi penyanyi.
Awalnya memang ditampilkan di sebuah pub kecil, kemudian terikat kontrak yang menjebaknya untuk pekerjaan.
“Saya tidak punya pilihan,” kata wanita berusia 26 tahun ini, “Ketika saya lakukan, itu benar-benar sakit. Tapi tim produksi tidak akan berhenti sekalipun.”
Sebuah LSM di Jepang, Lighthouse, sangat aktif mendesak pemerintah untuk menghentikan praktik-praktik agensi yang menjurus pada perdagangan manusia itu.
Mereka mengatakan, lebih dari 60 aktris mencoba melarikan diri bisnis ini pada paruh pertama 2016, jauh di atas tahun-tahun sebelumnya.
“Kami pikir, ini hanyalah puncak gunung es,” kata juru bicara Lighthouse, Aiki Segawa.
“Banyak korban merasa bersalah (karena kontrak yang ditandatanganinya). Kebanyakan wanita muda usia 18 hingga 25.
Mereka hanya sedikit pengetahuan tentang hukum dan sulit untuk membuktikan di pengadilan.”
Sebuah organisasi hak asasi Jepang menyebutkan, seorang wanita sampai melakukan operasi plastik berulang kali untuk lari dari masa lalunya.
Sebuah LSM berencana untuk menyewa pengacara agar distribusi film yang diperankannya tidak diedarkan lagi. Namun, sebelum itu terwujud, perempuan ini gantung diri.
Mariko Kawana, mantan bintang porno yang kini menjalani hidupnya sebagai penulis novel, ikut aktif untuk melindungi hak-hak pekerja di industri ini.
Ia bergabung dengan sejumlah aktivis hak asasi agar pemerintah menerapkan aturan yang lebih tegas terhadap transparansi kontrak.
Termasuk di antaranya, setiap kontrak harus melibatkan pengacara, agar hak-hak aktris tidak diabaikan. (AFP/Tribun)