+
+
Kecaman terhadap Biksu Ashin Wirathu, yang dicap sebagai teroris pemburu umat Islam di Myanmar, terus berdatangan dari publik Indonesia. Namun, hal tersebut tidak lantas merenggangkan hubungan umat Buddha dan Islam di Indonesia.
Aksi radikal Biksu Ashin justru semakin membuat umat Buddha dan Islam di Indonesia saling merekatkan diri. Hal ini seperti yang tampak dalam pertemuan Forum Silaturahmi Ta’mir Masjid dan Musholla Indonesia (Fahmi Tamami) dan Perwakilan Umat Buddha di Indonesia (Walubi) di kantor Walubi,Jakarta, Rabu (27/5) kemarin.
Menurut Wakil Ketua Walubi Suhadi Sendjaja, Biksu Ashin bukan representasi dari Buddha yang sesungguhnya. Tindakan Biksu Ashin, kata Suhadi, tidak menunjukkan kelakuan sebagai seorang biksu Buddha yang sebenarnya.
“Belum cukup dikatakan ia gundul dan jubah sebagai representasi dari Buddha jika tidak didukung oleh perilaku yang baik,” ujar Suhadi ketika menerima Ketum Forum Silaturahmi Ta’mir Masjid dan Musholla Indonesia (Fahmi tamami) Rhoma Irama.
Suhadi mengatakan, ia dan seluruh umat Buddha di Indonesia turut prihatin dan menyayangkan sikap Biksu Ashin. Oleh karena itu, pada perayaan Waisak nanti, semua umat Buddha diharapkan dapat meningkatkan perilaku dharma.
“Kami sebagai komunitas Buddha turut bertanggung jawab terhadap perilaku seperti itu dan menyayangkan sikap Biksu Ashin. Momen Waisak tahun ini diharapkan bagi kami untuk tingkatkan perilaku dharma,” ujar Suhadi.
Suhadi menegaskan, konflik yang melanda penduduk Rohingya di Myanmar bukanlah masalah agama. Oleh karena itu, apa yang terjadi di Myanmar diharapkan tidak menyulutkan kemarahan agama lain di dunia, terutama di Indonesia.
Lanjut Suhadi, pada dasarnya toleransi keagamaan di Myanmar sangat terjaga. Hal itu ditemukan Suhadi ketika melakukan kunjungan bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke Myanmar tahun lalu. Dalam kunjungan tersebut, cerita Suhadi, mereka mengikuti resepsi masuknya Islam di Myanmar.
“Sebagaimana Indonesia mayoritas Muslim, Myanmar juga mayoritas Buddha. Namun hidup keagamaan di sana sangat terjaga,” papar dia.
Selain itu, Suhadi juga menceritakan kronologi lahirnya diskriminasi penduduk Rohingya di Myanmar. Kata dia, Undang Undang kewarganegaraan Myanmar mesti perlu dikaji ulang, sebab timbulnya konflik adalah karena tidak diakuinya warga Rohingya sebagai warga negara Myanmar.
“Suku Rohingya berasal dari Bhanglades ratusan tahun. Dalam UU kewarganegaraan Myanmar, mereka tidak masuk sebagai warga negara. Ini yang kami soroti waktu itu saat kunjungan bersama MUI,” ujarnya.
Di sisi lain, Suhadi menegaskan perlunya perbaikan UU dan kesadaran penduduk Rohingya sendiri agar konflik tidak terus berlanjut. Suhadi mencontohkan penduduk Tionghoa yang pernah mendapat diskriminasi di Indonesia puluhan tahun lalu. Kata dia, perbaikan kesadaran sebagai warga negara merupakan hal yang sangat penting.
“Saya pikir ada dua pihak yang perlu perhatikan hal ini, yakni Pemerintah Myanmar juga lakukan perbaikan hukum dan masyarakat Rohingya untuk tingkatkan kesadaran sebagai warga negara. Bayangkan, sampai saat ini bahasa yang mereka gunakan bahasa Bhanglades. Dulu kita juga alami diskriminasi sebagai Tionghoa. Tapi kami sadar, kami perlu perbaikan,” pungkasnya.
+
http://www.merdeka.com/peristiwa/solidaritas-umat-buddha-indonesia-untuk-muslim-rohingya-splitnews-2.html