+
+
Nelayan Aceh membuktikan kebesaran hatinya menolong ratusan pengungsi Etnis Rohingya tak berdaya pada pertengahan Mei 2015. Korban diskriminasi pemerintah Myanmar tersebut ditemukan dalam kondisi sangat mengenaskan.
Para pengungsi yang terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak ini sudah dalam kondisi kelelahan hingga kelaparan. Mereka sempat ditolak masuk wilayah Thailand dan Malaysia.
Sebetulnya exodus etnis Rohingya dari Myanmar atau warga Bangladesh lainnya dengan menggunakan perahu bukan fenomena baru. Gelombang pengungsian besar-besaran pertama etnis Rohingya dengan menumpang perahu terjadi tahun 2012.
Saat itu, konflik sektarian antara warga minoritas Muslim Rohingya dengan mayoritas Buddha di negara bagian Rakhine, Myanmar semakin memburuk. Lebih dari 200 warga etnis Rohingya tewas dan 140.000 lainnya digiring ke kamp-kamp penampungan. Rakhine merupakan negara bagian Myanmar yang tergolong paling miskin.
Meski sudah bermukim di Myanmar selama beberapa generasi, anak cucu keturunan Rohingya tetap dipandang sebagai pengungsi ilegal dari Bangladesh. Sementara itu, Bangladesh juga tidak mengakui etnis Rohingya sebagai warga negaranya.
Tidak diakuinya etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar dan Bangladesh menyebabkan mereka sering mendapatkan perlakuan diskriminasi. Dampaknya, ribuan etnis Rohingya menjadi manusia perahu untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Terdesaknya kondisi mereka pun tak jarang dimanfaatkan sindikat perdagangan manusia.
Bukti-bukti kesengsaraan mereka mulai mendunia setelah Indonesia membuka diri menampung mereka dengan batas waktu tertentu. Desakan terhadap pemerintah Myanmar pun datang bertubi-tubi.
ASEAN sudah mengirim sinyal ke Myanmar, agar menghentikan tindakan represif terhadap minoritas Muslim Rohingya. Negara-negara tetangga Myanmar pun tak luput dari imbauan agar melunak dan menerima manusia perahu tersebut untuk sementara waktu berdasarkan azas kemanusiaan.
Di sisi lain, umat Buddha di Indonesia pun didesak untuk menyampaikan pesan kepada pemerintah Myanmar, khususnya umat Buddha di negara tersebut untuk segera menghentikan diskriminasi terhadap minoritas muslim Rohingya.
Desakan pun datang dari Ketua Umum Forum Silaturahmi Ta’mir masjid dan musala Indonesia (Fahmi Tamami), Rhoma Irama. Rhoma menemui pimpinan perwakilan umat Buddha Indonesia (Walubi) untuk menyampaikan pesan tentang pengungsi Rohingya. Dalam dialog tersebut, Rhoma menegaskan tujuan kedatangannya bersama rombongan adalah untuk menyatakan sikap mengenai kondisi penduduk muslim Rohingya di Myanmar.
“Tujuan kedatangan kami adalah nyatakan sikap kami mengenai kondisi penduduk Islam Rohingya, terutama momentum yang baik di mana umat Budha akan rayakan Waisak 2559 dan komitmen Indonesia untuk toleransi dan redamkan ekstrem yang salah kaprah,” terang Rhoma di Sekretariat Walubi Gedung Berca, Jl. Abdul Muis 62, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (27/5).
Dalam kesempatan yang sama, Rhoma Irama juga membacakan 4 pernyataan sikap dari Fahmi Tamani kepada Walubi.
“Berkenaan dengan motif insiden atas namakan agama di Rohingya, ada pun harapan kami agar Walubi untuk imbau pemerintah Myanmar khususnya umat Buddha agar tidak melakukan diskriminasi agama Islam di sana,” ucapnya.
Kedua, mengimbau kepada Walubi untuk mendesak pemerintah Myanmar merenovasi masjid yang rusak di Myanmar, khususnya di wilayah etnis Rohingya. Selain itu, Walubi juga diminta turut membantu kerugian pengungsi Rohingya di Aceh.
“Dan keempat, menjaga kerukunan agama Islam dan Buddha di Indonesia untuk jadi teladan kerukunan agama di Rohingya dan dunia,” papar Rhoma.
Menjawab tuntutan itu, perwakilan Walubi, Suhadi, menegaskan jika persoalan di Myanmar bukanlah masalah agama melainkan konflik suku yang merembet pada masalah agama. Oleh karena itu, kata dia, Walubi akan terus mengusahakan diplomasi terutama berkaitan dengan kerusakan masjid di Myanmar.
“Hal ini kami sudah lakukan bersama MUI. Namun, perlu diingat bahwa masalah yang terjadi di sana bukanlah masalah agama namun konflik suku yang melebar ke masalah agama. Namun, kami tentu melakukan diplomasi untuk memperhatikan kerusakan masjid di Myanmar,” ujar Suhadi.
Walubi pun mengimbau pemerintah Myanmar agar melakukan perubahan yang fundamental. “Kami mengimbau pemerintah Myanmar secepatnya dapat mengambil langkah fundamental. Mengadopsi prinsip kewarganegaraan yang tidak rasionalis dan diskriminatif,” kata Suhadi.
Namun, Suhadi menekankan kalau proses ini tidak akan berlangsung instan. Butuh proses puluhan tahun tentunya untuk Rohingya kembali hidup damai di negaranya. Sama seperti etnis Tionghoa yang butuh waktu puluhan tahun untuk diakui di Indonesia.
+
+